Yakin dan Berani Itu 80 Persen Kesuksesan
Spirit Usaha
* Oleh : Muhammad Ali
Ada selembar kertas putih dengan sebuah bulatan hitam yang ada di tengahnya. Saya yakin, hampir sebagian besar orang yang melihatnya pasti akan menatap pada bulatan hitam itu. Padahal bulatan hitam itu adalah bagian yang demikian kecil dibanding bidang putih kertas tersebut. Begitu juga jika ada titik-titik hitam yang lain pada kertas putih itu. Pandangan kita pasti akan tersita pada noda-noda tersebut.
Anggap saja kertas putih itu adalah langkah terobosan sedangkan noda-noda itu adalah faktor resikonya. Dan itulah yang biasanya terjadi. Sebagian besar orang akan lebih fokus pada resiko yang akan dihadapi ketimbang menatap peluang yang gilang gumilang di masa depan.
Mereka merasa begitu banyak keterbatasan di dalam dirinya yang menghalangi untuk mencoba membuat berbagai manuver dalam hidup. Dan ia pun stag pada satu kondisi yang terlanjur dianggap nyaman.
Tak dipungkiri, keterbatasan pasti ada dan resiko adalah sebuah keniscayaan. Apalagi jika upaya yang akan kita coba tadi merupakan pengalaman pertama, maka bayang-bayang kekhawatiran itu akan semakin besar dan menggelayuti kaki kita hingga berat rasanya untuk mulai melangkah.
Sewaktu masih bocah, saya pernah bercita-cita menjadi anggota TNI. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja keinginan itu hilang begitu saja. Yang justru mengemuka adalah saya ingin kuliah dan kampus yang saya impikan hanyalah satu, UGM (Universitas Gajah Mada) Yogyakarta. Itulah lembaran kertasku.
Dan lihat, begitu banyak noda-noda hitam di kertas itu. Pertama, saya adalah bocah ndeso. Kedua, saudara saya banyak, tujuh orang. Ketiga, bapak saya hanyalah bakul hasil bumi yang menjual panenan para petani pada pembeli di pasar-pasar tradisional. Ditambah lagi tiba-tiba bapak saya meninggal dunia sehingga hanya ibu yang menjadi gantungan hidup bagi ketujuh anak-anaknya.
Karena itu sungguh suatu hal sangat musykil jika saya ngotot untuk meraih mimpi itu. Darimana ibu dapatkan uang untuk membiayai kuliah saya, belum lagi dengan biaya hidup seperti uang kos dan kebutuhan makan sehari-hari selama kuliah.
Akhirnya saya hanya bisa menyimpan keinginan itu untuk sementara waktu. Akhirnya saya mengembara ke Solo. Disana saya menjadi pekerja di sebuah lembaga pendidikan bernama Akademi Analis Kesehatan Nasional Surakarta. Selama bekerja disitu, mimpi yang terpendam tadi memberontak untuk lepas dari kungkungan keterbatasan dan semakin menjadi-jadi saat saya diterima di UGM melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) di Fakultas Ilmu Budaya jurusan Sastra Arab.
Keputusannya, saya tinggalkan Solo menuju Yogyakarta. Kuliah disana bermodalkan tabungan yang pasti akan terkuras habis di bulan pertama. Tapi tekad sudah terlanjur bulat, Bahkan tawaran seorang teman untuk menanggung biaya kuliah dan memberi tumpangan hidup saya tolak mentah-mentah. Alasannya, sungkan dan kurang tantangan.
Sesampai di Yogyakarya, barulah persoalan itu diurai satu persatu untuk dicarikan jalan keluarnya. Persoalan pertama sudah pasti adalah tempat tinggal, lalu makan, transportasi dan yang pasti uang kuliah. Setelah dihitung-hitung, ternyata biayanya cukup besar apalagi untuk ukuran remaja lulusan SMA seperti saya waktu itu.
Saat itu mulailah ada gerakan dalam diri untuk menggali potensi pribadi demi memenuhi kebutuhan. Dari kemampuan baca tulis Al Quran dan pengalaman mengajar TPQ di desa dulu muncul sebuah pemikirian untuk mengajar di pondok-pondok kecil di dekat kampus. Tujuannya, mungkin dengan mengajar disana, saya bisa nunut tidur, syukur-syukur kalau bisa nunut makan juga.
Dan mulainya saya mencari pondok yang mau menerima jasa saya itu. Selama proses itu saya ditampung di rumah teman. Dan setelah sekian lama mencari akhirnya saya dapatkan pondok tersebut. Dan mulai saat itu saya tinggal disana setiap hari selama masa kuliah. Soal makan, saya masih bisa menyisakan sedikit uang untuk sarapan tiwul dan gatot di pasar setiap pagi. Siangnya puasa, malamnya tinggal berharap semoga dipanggil oleh kiai karena dengan begitu saya bisa menikmati makan malam. Tapi kalau enggak ya cukup air putih dan makanan seadanya ya ada di pondok.
Sedangkan untuk kebutuhan uang kuliah bisa saya atasi dengan bekerja paruh waktu di salah satu toko yang ada Jl Malioboro. Beres, walaupun harus pintar-pintar mengatur waktu untuk kerja, kuliah dan ngajar ngaji. Bahkan saya malah sempat nambah kuliah di IAIN Sunan Kalijaga.
Dan alhasil, akhirnya gelar kesarjanaan dari UGM berhasil saya genggam. Inilah lompatan besar pertama saya. Bagaimana tidak, sayalah satu-satunya anak bapak dan ibu yang kuliah. Dan bahkan kini sudah berstatus sarjana dari sebuah universitas besar dan bersejarah di Indonesia. Dan itu semua diraih hanya bermodalkan keyakinan ditambah keberanian.
Titik Balik Wong Solo
Lepas dari UGM, keinginan untuk menempuh ilmu semakin kuat. Yang terbersit di otak saya waktu itu adalah, mengulangi kembali langkah yang telah terjadi di masa awal kuliah lalu. Namun kali ini sasarannya adalah S2 dan S3 dan seterusnya hingga capaian tertinggi dalam dunia akademik. Adapun aplikasi ilmu itu berada di ranah pendidikan. Tahu khan maksudnya, saya ingin jadi guru, jadi dosen atau profesi sejenisnya.
Saat mencari kerja itulah, saya membaca iklan lowongan di salah satu koran harian terbitan Jogja. Isinya mencari sarjana fresh graduate dari berbagai disiplin ilmu, jujur dan bisa baca tulis Al-Quran.
Persyaratan-persyaratan ini sudah sangat pas, bisa saya penuhi semuanya. Tapi persoalannya adalah, posisi yang dicari adalah manager cabang restoran dan lagi harus bersedia ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia. Waduh! Jelas ini sangat berbeda dengan bangunan mimpi yang ingin saya raih. Ingin jadi dosen koq malah ngurusi restoran? Pikiran saya melayang.
Pinginnya sekolah sampai setinggi-setingginya di Jogja ini koq malah mau keliling Indonesia. Apalagi saya juga sama sekali tak menguasai urusan menejemen dan tidak hobi dengan urusan masak-memasak. Eh, tapi kesempatan tak akan datang dua kali. Dan lagi, si pemilik iklan lowongan itu merupakan salah satu restoran yang ternama di Indonesia saat itu. Sayap usahanya mengembang dimana-mana dan pemiliknya pun adalah seorang entrepreneur yang begitu menginspirasi.
Siapa yang tak kenal dengan Pak Puspo Wardoyo, Owner Restoran Ayam Bakar Wong Solo. Sayapun berada di persimpangan, bingung menentukan pilihan. Banyak orang yang saya ajak bicara untuk mencari pertimbangan. Dan setelah melalui proses Istiqarah, sayapun menetapkan niat untuk menjalani kehidupan sebagai seorang manager restoran. Saya mencoba mengambil hikmah, mungkin ini jalan yang ditunjukkan Oleh Allah SWT bagi saya untuk belajar. Bukan di bangku kuliah pasca sarjana, tapi langsung di ladang pekerjaan dengan disiplin ilmu yang sama sekali berbeda dengan niat yang saya inginkan sebelumnya.
Dan benar adanya, hasil pembelajaran inilah yang kemudian menjadi modal bagi saya untuk mengelola usaha kuliner milik saya sendiri Asap-Asap Steak And Soup beserta groupnya di kemudian hari yang saya mulai dari warung kecil sekelas PKL di tepi jalan.
Sandarkan Pada Tuhan
Semua orang pasti ingin menikmati kehidupan yang tenang dan nyaman alias bahagia yang merupakan kumpulan dari senang dan selamat. Berada di dalam zona ini sungguh merupakan menyenangkan hingga membuat orang yang berada di dalamnya enggan untuk keluar.
Tapi bagaimana jika ada sebuah keadaan yang memaksa Anda untuk keluarga dari zona tersebut. Wow pasti tidak menyenangkan, gelisah. Anda serta sebagian besar dari kita pasti akan berusaha menghindarinya.
Begitu juga dengan pengalaman yang saya alami. Pernah di suatu saat, saya merasa sudah tak nyaman lagi untuk terus bekerja di restoran Wong Solo. Begitu kuat dorongan yang ada dalam diri untuk segera resign.
Tapi pertanyaannya adalah apa yang yang akan saya lakukan selanjutnya. Keberanian saya untuk berspekulasi dan “berjudi” dengan kehidupan sudah tak sebesar saat muda dulu. Kini saya sudah bukan bujangan lagi, sudah punya istri dan juga anak yang harus saya nafkahi dengan layak.
Pikir punya pikir akhirnya pilihannya adalah keluar lalu mencari restoran lainnya sebagai pelabuhan bekerja berikutnya. Siapa tahu di tempat yang baru nantinya saya akan lebih nyaman dalam berkarya, syukur-syukur akan mendapat salary yang lebih baik ketimbang sebelumnya.
Pilihan kedua adalah membuka usaha sendiri. Sekian lama bekerja, saya sudah punya kemampuan untuk menjual atau menjalankan sebuah usaha. Pengalaman sebelumnya juga menjadi modal kemampuan dari merancang, mengelola dan membesarkan sebuah usaha kuliner. Didalamnya juga termasuk kemampuan memetakan potensi diri sendiri dan kompetitor, membaca peluang, mengetahui titik lemah dan jenis rintangan sekaligus dengan cara pemecahannya. Semuanya sudah lengkap, kecuali satu, MODAL MATERIAL.
Lagi-lagi kebimbangan kembali merajahi saya. Kedua pilihan sama-sama sulitnya. Tapi pilihan pertama jauh lebih aman. Banyak teman yang bisa merekomendasi saya pindah ke restoran lain. Dan itu tak akan butuh waktu yang lama. Dan bisa jadi pindah kerja ini tidak akan menimbulkan kegoncangan dari sisi ekonomi keluarga.
Ini jauh lebih baik daripada pilihan kedua yang cenderung lebih beresiko. Ekonomi keluarga pasti terguncang. Mesti tanpa modal, tapi keberadaan uang untuk menutup kebutuhan rutin bulanan selanjutnya jelas tak akan pernah bisa dipastikan. Apalagi jika gaji terakhir bulan ini harus dipakai untuk modal usaha, wah malah bakal kacau-balau semuanya.
Tapi diantara kegelapan itu, saya melihat adanya secercah harapan yang bisa membawa kehidupan saya dan keluarga di masa depan akan gilang gemilang. Menjadi pengusaha berarti saya harus siap untuk kaya raya karena penghasilan saya bisa sangat tidak terbatas. Menjadi pengusaha berarti akan mensejahterakan anak dan istri di tengah-tengah resiko yang tak kalah besar pula.
Dan faktanya sekarang adalah, jika saat itu saya menggenggam pilihan pertama maka mungkin saat ini saya masih menjadi karyawan restoran. Bisa jadi pindah-pindah dari satu restoran ke restoran lainnya. Bekerja keras mulai pintu gerai belum dibuka hingga beberapa saat setelah pintu ditutup. Soal penghasilan, ya tinggal seberapa besar nilai tawar saya terhadap sang pemilik modal. Selain itu juga berharap kemurahan akan mendapat kenaikan gaji rutin setiap tahunnya.
Untungnya bukan sisi itu yang saya pilih. Dan inilah saya sekarang, seorang usahawan yang mulai menapaki langkah menuju puncak. Memang belum sepenuhnya sukses, tapi saya on the right track dan saya yakin akan terus melangkah until all my dream come true.
Tidak ada yang tidak mungkin. Yakin akan sebuah tujuan yang dipilih serta berani melangkah itu sudah merupakan 80% dari titik keberhasilan yang ingin diraih. Selebihnya adalah berani menghadapi tantangan, kerja keras dan cerdas, ikhlas dan tuntas, dan yang tak kalah pentingnya adalah Tuhan. Ini penting, untuk membentengi diri kita agar kalo sukses ndak takabur dan kalau kalah ndak lemas. Dia harus didekati dengan cara yang telah diajarkan oleh utusannya (rasul). Ini menjadi syarat yang tak bisa ditinggalkan. Selebihnya wallahua’lam. * (owner asap-asap resto & group)