Masyarakat Samin : Lain Dulu, Lain Sekarang
* Oleh : Drs. H. Kasiyanto Kasemin, MSi
( Peneliti Utama Kebijakan Iptek Pada Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya)
Semula perkumpulan masyarakt ini bertujuan memberi pertolongan terhadap masyarakat daerah sekitar yang dinilai berada dalam kondisi memprihatinkan sebagai akibat penjajahan Belanda. Ketimpangan struktur sosial, dimana para pegawai Belanda menempati posisi terhormat dalam herarki social, dll.
Masyarakat Samin mendiami Dukuh Jepang Desa Margomulyo Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Tujuan gerakan Samin adalah menggalang persatuan yang kekal.Gerakan Samin sebenarnya ialah gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Gerakan Samin yang muncul merupakan suatu sekte yang menolak Islam, negara dan hirarki sosial itu sendiri. Mereka tidak mau mengundang pejabat-pejabat agama Islam untuk meresmikan perkawinan atau upacara-upacara penguburan dikalangan mereka dengan memungut biaya, mereka tidak mau membayar pajak meskipun mereka dapat hadiah, dan mereka membuang segala tata cara dan sopan santun yang berdasarkan perbedaan status sebagai gantinya mereka menggunakan bahasa Jawa Kasar (ngoko, dan memanggil satu sama lain dengan “sedulur”).
Dalam pertentangannya dengan negara kolonial yang mau mengatur segala galanya, orang Samin mengambil unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan rakyat jelata untuk membentuk suatu agama yang terpadu dengan peraturan-peraturan sosialnya, yang secara sadar menolak nilai-nilai elit dan hak-hak mereka atas masyarakat petani. Maka masyarakat Samin melakukan bentuk penolakan berupa pembayaran pajak, menolak pejabat-pejabat agama dan membentuk struktur sosial sendiri yang dilandasi oleh pengetahuan budaya rakyat jelata dalam wujud konkritnya ialah bahasa ngoko.
Penolakan gerakan Samin terhadap keyakinan beragama. Mereka lalu meyakini keberadaan “Agama Adam” yang merupakan manifestasi dari penolakan terhadap ajaran agama Islam. Mereka menafsirkan ajaran agama Islam dalam konsteks bahasa ngoko, sehingga menghasilkan penghujatan istilah atau mendistruksikan konsep-konsep Islam menurut pengertian lokal. Mereka menolak kebenaran Allah, sebagai Tuhan orang Islam yang dianggapnya sebagai rekayasa manusia atau timbul dari pemikiran manusia dan mereka menggantikan Tuhan itu dengan simbul orang tua (makyung). Seperti diutip dari James C. Scoot, 1993, Moral Ekonomi Petani, (1983 : 365) menyimpulkan bahwa tidak mengherankan jika dikemudian hari daerah pusat kaum Samin dengan mudah dipengaruhi partai komunis, mengingat praktik-praktik keagamaannya begitu banyak persamaan dengan partai itu.
Dalam hal bertingkah laku, mereka menekankan pada dua konsep, kejujuran dan kebenaran. Untuk melakukan keduanya maka mereka memiliki ajaran yang disebut “Pandom Urip” yaitu “ojo nganti srei, drengki, dahwen, open, kemeren, panasten, rio sapodo-podo, mbedak, colong playu, kutil, jumput, nemok wae emoh” (sikap sombong, iri hati, bertengkar, membuat marah terhadap orang lain, menginginkan hak milik orang lain, bersifat cemburu, bermain judi dan mengambil barang orang lain tercecer di tengah jalan), (Abdullah, 1982 : 310).
Untuk mengawasi perilaku penganutnya, maka dilakukan dengan cara hukuman batin, yaitu orang yang melakukan kesalahan akan diperolok-olok oleh penganut Samin lainnya, dan kemudian mereka akan dipanggil oleh sesepuh Samin. Jadi peran sesepuh Samin cukup besar dalam pengawasan tingkah laku sosial masyarakat. Oleh karena itu jika sosok sesepuh Samin merosot pamor atau kharismanya, maka akan memungkinkan pergeseran- pengeseran, perubahan identitas dan tradisi pada suatu kelompok masyarakat. Pandangan hidup orang Samin sebenarnya tidak dapat dilepas dari tradisi besar kebudayaan Jawa yang melingkupinya, yang tersimpul dari tiga konsep dasar yaitu rukun, harmoni, slamet. Rukun, bahwa prinsip dari kehidupan orang Samin melakukan kerukunan dalam kelompoknya dan sesama manusia lainnya. Bahkan nampak berlebihan dalam hal sesama penganut Samin. Harmoni atau keselarasan bahwa hidup memiliki keselarasan antara yang mikro kosmos dan makro kosmos dan juga keselarasan antara manusia atau dengan lainnya. Selamat bahwa prinsip dasarnya adalah hidup manusia harus ditujukan untuk mencapai keselamatan, yang akan diperoleh di dunia ini.
Tradisi orang Samin nampak tidak ada yang khusus, artinya dilihat dari tradisi besarnya. Walaupun dalam ajaran Samin tidak terdapat upacara-upacara khusus yang terkait dengan lingkaran hidup, akan tetapi karena kedekatannya dengan pengetahuan Jawa, maka mereka akan menyelenggarakan serangkaian upacara, misalnya dalam proses perkawinan mereka menyelenggarakan upacara “adang akeh” sebagai perwujudan pesta perkawinan (Anwar, 1978/1980 : 110). Demikian pula terdapat upacara tingkepan dan kelahiran serta upacara kematian.
Perubahan
Seiring semakin pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dan dengan makin terbukanya masyarakat Samin dengan pihak luar sedikit-demi sedikit telah terjadi perubahan. Mereka mulai mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara, misalnya dalam hal pembayar pajak sejak tahun 1980-an masyarakat Samin mulai sadar akan pentingnya pajak bagi negara. Bahkan menurut keterangan Kepala Desa Margomulyo, warga dukuh Jepang adalah yang paling tertib dalam hal membayar pajak. Padahal jaman Jepang masyarakat tidak mau membayar pajak. Pada bidang pendidikan juga mengalami kemajuan, sejak tahun 1973 telah berdiri sekolah dasar negeri di Dukuh Jepang. Sedang bagi mereka yang telah lulus sekolah dasar dan ingin melanjutkan ke tingkat SLTP anak-anak warga dukuh Jepang harus keluar dari desanya. Disinilah proses perubahan terjadi karena adanya kontak dengan orang-orang diluar Samin. Sebagai contoh atas keberhasilan pendidikan ini adalah anak sesepuh Samin yaitu Hardjo Kardi yang berhasil menamatkan sekolah teknik mesin (STM) jurusan listrik di Kabupaten Ngawi dan di akhirnya berhasil memperoleh pekerjaan di Jakarta. Contoh lain anak bernama Muhammad Miran setelah menamatkan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jepang ia mendapat biasiswa dari Departemen Agama untuk melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang Jawa Tengah.
Setelah tamat di Pondok Pesantren ia kembali ke desanya dan dengan dibantu beberapa temennya menjadi penyebar agama Islam di desanya. Kemudian atas bantuan pemerintah dan dukungan warga dukuh Jepang ia berhasil mendirikan masjid Al-Huda. Tetapi sayang kehidupan beragama di lingkungan masyarakat Samin masih belum begitu menggembirakan, walaupun Muhammad Miran dkk. sebagai mubaligh muda relatif cukup sabar dan tekun dalam mengajak generasi muda untuk mengaji dan beribadah di masjid Al-Huda. Penyebab utama lambatnya perkembangan Islam pada masyarakat Samin karena masyarakat Samin golongan tua masih sangat percaya dengan ajaran “Pandom Urip” yang diwariskan nenek moyangnya.
Proses perubahan terjadi juga karena seringnya kunjungan pejabat pemerintah mulai dari tingkat Desa, tingkat Kecamatan, Kabupaten sampai kunjungan Gubernur Jawa Timur ke dukuh Jepang tersebut. Perhatian pemerintah terhadap warga dukuh Jepang, agaknya mempengaruhi pula sikap hidupnya yang semula tertutup menjadi terbuka dengan pihak luar. Sehingga mereka pun sudah tidak canggung dan curiga lagi dengan pihak luar.
Apalagi ditmbah dengan masuknya mesia massa seperti radio dan televise hingga menjadikan masyarakat Samin sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Faktor pendidikan, juga merupakan salah satu pendorong perubahan masyarakat Samin yang amat kuat, terutama perubahan pada generasi muda, misalnya dalam hal berkomunikasi, dulu menurut keterangan pamong desa masyarakat Samin sulit diajak berkomunikasi, karena selain tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka sulit menangkap makna pembicaraan orang. Tetapi sekarang sudah banyak perubahan, karena banyak anak-anak yang mengerti bahasa Indonesia dan bisa menerima pembicaraan orang lain. Pendidikan juga dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat Samin untuk menerima ide-ide baru, di bidang pertanian, perdagangan, dan lain-lain.
Beberapa hasil karya masyarakat Samin yang dapat mempengaruhi dan mendorong perubahan adalah, hasil karya di bidang pertanian, terutama dalam pengadaan air untuk pertanian yang diupayakan dari sumber air yang tersedia di dukuh Jepang dan direkayasa untuk dialirkan ke tanah-tanah pertanian yang semula hanya bersifat tadah hujan. Kini beberapa tanah pertanian sudah dapat memanfaatkan sumber air tersebut. bahkan berkat peningkatan hasil karya pertanian tersebut, masyarakat Samin mendapat bantuan berupa traktor pengolah tanah pertanian yang dapat dipergunakan secara bersama-sama oleh masyarakat Samin dengan sistem bergantian dan gotongroyong.
Selain itu adanya mobilitas penduduk, seperti, perjalanan pendidikan, mencari pekerjaan dan berdagang dapat mendorong perubahan masyarakat Samin. Selain beberapa faktor pendorong perubahan tersebut juga tidak kalah pentingnya adalah kegiatan dahwah Islam. secara kualitatif dakwah Islam telah membawa perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat Samin, terutama bagi anak-anak Samin yang masih sekolah. Mereka sekarang setiap sore mengaji di masjid Al-Huda dengan bimbingan beberapa santri muda asal Samin.
Pada umumnya dalam kehidupan masyarakat yang dinamis tidak ada masyarakat di dunia ini yang stagnan tanpa perubahan walaupun masyarakat primitive sekalipun. Demikian pula masyarkat Samin yang mendiami suatu wilayah Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro. Indentitas dan tradisi Samin sekarang telah mulai berubah. Orang Samin sudah bukan kebanggaan dalam struktur sosial dimana mereka hidup. Samin sudah tidak menjadi ukuran dalam heteroginitas (pluralitas) nilai yang berada di tengah-tengah kehidupan mereka.
Penerimaan nilai Saminisme dikalangan mereka dahulu disebabkan karena adanya refresi kelompok lain yang dominan dan elite. Kemudian dalam proses panjang, dimana keberadaan tokoh Samin yang representatif memegang paugeman (pedoman) perilaku Samin yang sebenarnya hampir-hampir tidak dijumpai. Dan pada gilirannya penyiaran agama yang intensif yang dilakukan oleh da’i putra daerah juga tidaknya telah memainkan sejumlah peran untuk ikut serta mempercepat proses pelunturan indentitas Samin berikut tradisi Nyamin (prilaku orang samin) yang telah bercokol lama dalam hidup dan kehidupan mereka.*