Dilematisasi Harga Kedelai, Siapa Salah?
Pemerintah nampaknya masih cukup jauh dari harapan untuk bisa swasembada kedelai. Pasalnya bertanam kedelai tidaklah lebih menarik bagi petani. Petani lebih memilih menanam tanaman lainnya yang memiliki resiko lebih rendah ketimbang kedelai dengan hasil yang hampir sama.
Hal ini dikatakan oleh Kepala Bidang Usaha Koperasi Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Timur Mas Purnomohadi melalui Kepala Seksi Petanian Kehutanan dan Perkebunan, Agus Pudjiwaluyo. Agus melanjutkan, dengan harga jual kedelai ditingkat petani yang ditetapkan pemerintah sebesar 7000 per kilo gram, petani akan memilih untuk menanam tanaman lain yang memiliki resiko lebih rendah dan mudah perawatannya ketimbang kedelai,’ terang Agus.
Jawa Timur sendiri lanjut Agus, membutuhkan kecukupan kedelai hingga 11. 974 ton per bulannya. Bahkan sebanyak 69 koperasi yang ada di Jawa Timur yang melayani perajin tahu dan tempe tidak dapat mencukupi kebutuahan ini. “ Ini mustahil untuk dicukupi”, lanjutnya. Kini dari sulitnya komoditas itu ditemukandi pasaran, harga kedelai makin melonjak. Bahkan hingga menembus angka 9.000 rupaih per kilo gramnya jauh dari harta yang diizinkan pemerintah kepada perajin tempe dan tahu sebesar 7.450 per kilo gram. Imbasnya, para perajin yang bergantung dengan bahan utama kedelai mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Bulog sendiri pada Maret lalu telah mengusulkan untuk impor kedelai sebesar 100.000 ton namun belum mendapat tanggapan dari pemerintah. Dilematis memang. Satu sisi pemerintah ingin petani tetap hidup dengan menanam kedelai secara berkelanjutan, disisi lain bila pemerintah impor kedelai maka konsekuensinya harga akan menjadi lebih murah dan petani juga akan mati konyol.
Seperti kata pepatah, selain ada kesulitan, pasti ada kemudahan. Inilah yang dirasa perlu dicarikan jalan keluarnya. Dalam kesempatan berbeda Agus mengatakan, Indonesia terkendala oleh tenaga tani yang tak kunjung mengalami regenarasi yang disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peralihan dari negara agraris menjadi negara industry yang mengakibatkan anak petani enggan terjun ke sawah hingga akhirnya mengalami kelangkaan tenaga tani. Apalagi kini muncul mesin-mesin modern yang lebih kompatibel dioperasikan oleh tanaga muda. “ Ya memang diakui jaman orde baru lebih bisa menata swasembada karena tenaganya ada yang dispesialisasikan,” terangnya.
Maka itu diperlukan hubungan kemitraaan yang kuat antara pemerintah dengan petani untuk mengatasi hal ini. Menurut Agus, kemitraan antara pemerintah dengan petani mutlak diperlukan untuk mencapai swasembada, seperti swasembada pangan ini. Kemitraan antara pemerintah dengan petani akan membawa hasil yang mengembirakan. Seperti dicontohkan di beberapa perusahaan yang menaungi petani dari kebutuhan sebelum masa tanam hingga panen (corporate farming).
Mugkin juga ada pelajaran yang bisa diambil dari Orde baru mengenai swasembada pangan ini. bagaimana peminpinnya sangat dekat dengan petani bahkan dalam beberapa kesempatan tak jarang berkunjung dan bertemu petani. Selain itu juga memberikan keleluasaan kepada para penyuluh lapangan (PPL) untuk membantu petani dan terjun ke lapangan bukan sebaliknya seperti saat ini yang dibatasi perannya oleh undang-undang hingga mereka tak berani berbuat. Semoga masalah kelangkaan bahan pangan ini dapat segera teratasi dan rakyat menjadi makmur karenanya. (her)